MAKNA DUNIA DAN PENYIKAPANNYA
(RIYADHOH DAN MUJAHADAH)
I. PENDAHULUAN
Dunia dengan berbagai gemerlap dan
kemilaunya, menjanjikan kesenangan yang begitu memikat. Limpahan materi,
tingginya pangkat dan jabatan, luasnya kekuasaan menjanjikan kebahagian bagi
setiap orang untuk dapat meraihnya, menjadikan setiap orang memimpikannya.Namun
kesenangan dunia yang dapat direguk bukan malah menjadikan penikmatnya
terpuaskan, malah justru sebaliknya semakin haus yang dirasakan. Sebuah ironi
nyata, dunia bagaikan candu yang membuat setiap orang ketagihan. Tidak sedikit
orang yang tenggelam dalam larutnya kehidupan dunia. Kebutuhan yang meningkat,
godaan keinginan dan lain-lain yang menyangkut kehidupan menjadi salah satu penyebab tenggelamnya
banyak orang.
Diantara orang-orang yang tenggelam
tersebut, tidak sedikit yang akhirnya merasa jenuh dengan pola kehidupan dunia
yang tak pernah ada habisnya dikejar. Rasa jenuh tersebut membawanya mencari
sesuatu yang tidak didapatkannya dalam gemerlap dunia. Tidak sedikit diantara
mereka yang akhirnya memilih tasawuf sebagai obat bagi keresahan hatinya, sebab
tasawuf mengedepankan ketenangan hati bukan kebahagiaan materi yang semu.
Selain itu tasawuf juga punya pandangan tersendiri tentang dunia, baik untuk
orang yang sudah memiliki segalanya kemudia jenuh dengan semua itu, maupun
untuk orang yang belum merasakan manisnya dunia sebagai tameng agar tidak
terlalu jauh mengangankan sesuatu yang semu.
Makalah ini, akan sedikit mengupas
tentang dunia dan kehidupan menurut sudut pandang tasawuf, bagaimana para sufi
menyikapinya dan bagaimana cara membentengi dan menghindari diri dari godaan
dunia. Semoga pembahasan dalam makalah ini dapat bermanfaat dalam kehidupan
kita, paling tidak dapat menambah khazanah pengetahua kita. Dan terlebih lagi
dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
II. PEMBAHASAN
A. Hakekat Dunia Dan Kehidupan Menurut
Perspektif Tasawuf
Imam al-Ghazali mendefinisikan dunia
sebagai segala objek yang dapat ditemukan. Berdasarkan pengertian ini, dunia
bisa dikatakan sebagai bumi dengan segala yang ada padanya. Allah berfirman,
إنا جعلنا ما على الأرض زينة لها لنبلوهم
أيهم أحسن عملا
Al-Ghazali membagi keterkaitan
manusia dengan dunia menjadi dua, yaitu keterikatan batin (hati) dan
keterkaitan zhahir. Keterikatan batin atau hati tercermin dari rasa cinta pada
dunia dan keterikatan zhahir tercermin dari kesibukan fisik meladeni dunia
tersebut. Allah SWT berfirman,
زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين
والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام
B. Berbagai Cara pandang terhadap Dunia
Dan kehidupan
Al-ghazali membagi cara pandang
manusia terhadap dunia dan kehidupan kedalam beberapa kelompok. Golongan
pertama tenggelam dalam kebodohan dan kealpaan. Golongan ini menganggap bahwa
mereka hidup di dunia ini hanya beberapa hari, oleh karenanya mereka hanya
disibukan dengan rutinitas yang sangat monoton. Mereka bekerja supaya bisa
makan dan mereka makan supaya bisa bekerja. Bersusah payah siang hari agar bisa
istirahat di malam hari dan beristirahat di malam hari agar keesokannya dapat
bekerja kembali. Rutinitas ini menurut mereka baru akan berakhir kala kematian
datang menjemput.
Kedua, golongan yang menganggap
kesenangan dunia adalah jika sudah terpenuhinya kebutuhan biologis seperti
makan, minum, tidur atau hasrat seksual. Maka golongan ini senantiasa
disibukkan oleh upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dan lupa
tehadap Allah SWT dan hari akhir. Golongan ni menjalani kehidupan seprti
binatang yang hanya mengikuti naluri lahiriyahnya saja.
Ketiga, golongan yang menganggap
bahwa kebahagiaan terletak pada harta dan kekayaan. Golongan ini berupaya untuk
mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, jika tidak cukup siang hari mereka
bekerja maka malam haripun direlakan mengurangi waktu istirahat. Mereka
cenderung pelit -bahkan untuk diri mereka sendiri kecuali darurat-, karena
khawatir kekayaannya berkurang. Padahal ketika ia mati justru orang lain yang
menikmati hasil jerih payahnya tersebut. Hal ini tidak mejadi ibroh bagi orang
berpikiran sama sesudahnya.
Keempat, golongan yang menganggap
bahwa kebahagiaan adalah jika dipandang baik oleh orang lain melalui sanjungan
atau pujian. Golongan ini rela meminimalisasi biaya makan, tetapi royal dalam
membelanjakan pakaian, perhiasan, kendaraan, rumah serta penampilan lainnya
untuk memperoleh sanjungan dan pujian tersebut.
Kelima, golongan yang menganggap
kebahagiaan dunia terletak pada pangkat dan jabatan. Golongan ini rela
mengorbankan apa saja untuk mendapatkan pangkat dan jabatan tersebut. Mereka
berupaya agar orang lain tunduk dan patuh kepadanya. Semakin besar kekuasaanya,
semakin besar pula kebahagiaan hidup yang diperoleh. Mereka sibuk mencari
tawadhu’ manusia kepada mereka dan melupakan tawadhu’ mereka kepada Allah dan
melupakan akherat.
C. Riyadhoh Dan Mujahadah Para Sufi
Selain golongan-golongan diatas, ada
juga yang sadar dan berpaling dari kehidupan dunia. Mereka berusaha untuk tidak
terbawa arus kehidupan, mereka yakin kebahagiaan sebenarnya adalah pada kehidupan
sesudah kematian. merekapun tidak luput dari godaan syetan –la’natullahi alaih-
yang selalu berusaha menjerumuskan manusia. Orang-orang yang tersadar ini juga
terbagi menjadi beberapa golongan
Sebagian golongan yang yakin bahwa
dunia adalah tempat ujian dan kesengsaraan dan akherat adalah tempat
kebahagiaan hakiki. Setiap orang yang bisa mencapainya akan memperoleh
kebahagiaan baik ia beribadah atau tidak. Untuk mencapai kebahagiaan di akherat
tersebut, mereka melakukan bunuh diri –membakar diri misalnya- sebagai
pembebasan dari ujian dan kesengsaraan dunia.
Golongan lain berkeyakinan bahwa
denga cara membunuh diri tidak bisa membebaskan diri dari ujian dan
kesengsaraan dunia tersebut, tetapi terlebih dulu harus membunuh keburukan diri
dengan cara meninggalkan semua nafsu dunyawiyah dan bermujahadah secara
ekstrim. Akibatnya, sebagian ada rusak fisiknya karena sakit, sebagian lainnya
rusak syarafnya dan gila, keduanya terhalang untuk melakukan ibadah.
Golongan lain lagi merasa tidak
mampu meninggalkan nafsu duniawiyah secara keseluruhan dan beranggapan bahwa
hukum syara’ terlalu memberatkan. Kemudian beranggapan bahwa Allah maha kaya,
tidak akan bertambah kemahakayaannya karena ibadah manusia dan sebaliknya, tidak
akan berkurang kemahakayaannya kerena maksiat manusia. Akibat keyakinan ini,
mereka kembali melakukan maksiat. Tidak Cuma itu, mereka menganganggap konsep
kemahakayaan Allah ini merupakan tauhid yang paling murni.
Sebagian yang lain lagi meyakini bahwa
ibadah adalah wasilah seorang hamba untu mencapai ma’rifat kepada Allah. Ketika
ma’rifat tersebut telah diperoleh maka ibadah tidak lagi diperlukan, karena
merasa sudah memperoleh derajat tinggi di sisi Allah. Ibadah berupa pelaksanaan
hukum syara’ hanya dibebankan kepada orang awam.
Disamping golongan-golongan tersebut
diatas, masih banyak lagi golongan yang berkeyakinan sesat dan menyesatkan.
Adapun cara melakukan riyadhoh dan mujahadah yang benar menurut Al-Ghozali
adalah dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya. Yaitu, tidak meninggalkan dunia secara keseluruhan dan tidak
mengambil dunia secara keseluruhan, caranya adalah dengan mengetahui hakekat
yang dibutuhkan dan tidak melebihi hakekatnya tersebut. Sebagaimana Allah
berfirman :
بل كان أمرهم بين
ذالك قواما
Menurut Imam Al-Ghazali, salah satu
cara bermujahadah adalah jika mendapatkan diri telah berbuat maksiat atau
keburukan, maka sebaiknya memberikan hukuman kepada diri sendiri, dan apabila
telah melakukan suatu ibadah atau kebaikan, maka sebaiknya berusaha
meningkatkan kebaikan atau ibadah tersebut meskipun harus memaksa diri sendiri.
Khalifah Umar bin Khattab, karena
tertinggal sholat jamaah, menghukum diri sendiri dengan cara menyedekahkan
tanah yang senilai dengan 200.000 dirham. Ibnu Umar, jika terlewat shalat
jama’ah, maka ia beribadah sepanjang malam dan memerdekakan 2 orang budak. Ibnu
Abi Rabi’ah jika terlewat dua rakaat fajar, maka ia memerdekakan seorang budak.
Sebagian sahabat yang lain menghukum diri sendiri dengan cara puasa sepanjang
tahun atau melaksanakan haji dengan cara berjalan kaki.
D. Membiasakan Diri Untuk Beriyadhoh
Dan Bermujahadah
Musuh paling besar bagi setiap orang
adalah nafsunya sendiri. Nafsu tersebut cenderung pada hal-hal negatif seperti
maksiat dan malas beribadah dan lebih berorientasi pada kehidupan duniawi.
Riyadhoh dan mujahadah bertujuan untuk melatih diri agar tidak terbawa arus
nafsu dan justru mengendalikan nafsu tersebut, sehingga ibadah yang dilakkukan
menjadi lebih maksimal dan lebih bernilai. Riyadhoh dan mujahadah juga membawa
orientasi kehidupan ke arah kebahagiaan ukhrowi.
Menurut al-Ghazali, pembiasaan diri
melakukan riyadhoh dan mujahadah salah satunya bisa dilakukan dengan cara
senantiasa menasehati diri sendiri. Allah SWT berfirman :
وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين
Nasehat itu bisa berupa semacam
dialog kepada diri sendiri dengan mengatakan antara lain :
a. Betapa bodohnya engkau, tidak tahu akan masuk kemana, surga
atau neraka, sementara engkau selalu bersenda gurau, tertawa dan disibukkan
kehidupan dunia.
b. Bodohnya engkau, menganggap kematian masih lama. Padahal,
kematian datangnya tiba-tiba tanpa aba-aba sebelumnya, kenapa engkau tidak
bersiap-siap.
c. Celakanya engkau, mengaku beriman tetapi kemunafikan yang
nampak. Bukankah Allah berfirman dalam hal urusan dunia :
وما من دابة فى الأرض
إلا على الله رزقها
Dan dalam hal urusan akherat Allah berfirman,
وأن ليس للإنسان إلا
ما سعى
Allah telah mengukur jatah urusan duniamu, kemudian engkau
menginginkan lebih dari itu. Allah telah menyerahkan urusan akherat atas jerih
payah engkau, kemudian engkau berpalling. Jika saja iman cukup di lisan, kenapa
orang munafiq ada di neraka paling bawah.
d. Celakanya engkau, seolah tidak
percaya pada hari perhitungan. Engkau mengira setelah kematian engkau akan
lenyap begitu saja. Engkau lupa telah diciptakan dari air mani, kemudian
menjadi segumpal darah dan seterusnya. Bukankah itu pertanda bahwa Allah SWT
mampu menghidupkan yang mati.
e. Jika saja seorang yahudi berkata
“jangan makan ini atau itu sebab tidak baik untuk kesehatan”, padahal makanan
tersebut kesukaanmu, engkau bisa lakukan. Maka, apakah ucapan para nabi, Firman
Allah, tidak bisa engkau laksanaka
f. Jika saja seorang anak kecil yang
berkata “di pakaianmu ada kalajengking”, maka engkau akan melepas bajumu saat
itu juga tanpa pikir panjang, tanpa perlu bukti. Maka, apakah ucapan para nabi,
para auliya tidak lebih baik bagimu dibandingkan ucapan anak kecil tadi.
III.
PENUTUP
Kehidupan dunia yang begitu memikat
bisa membuat semua orang lupa bahwa hakekatnya hanya sementara. Banyak orang
yang mengejar kebahagiaan duniawi yang semu dan meninggalkan upaya mencapai
kebahagiaan ukhrowi yang hakiki. Makalah ini setidaknya memberikan gambaran
tentang hakekat dunia dan kehidupan, pandangan-pandangan terhadap dunia
tersebut serta sedikit kiat agar tidak terbawa semu arus dunia.
Kritik, saran dan partisipasi dari
peserta diskusi, terlebih tambahan dari dosen sangat kami perlukan untuk
menambah wawasan khususnya terkait masalah ini. Sebab, makalah ini mustahil
tanpa kekurangan dan kealpaan.
والله أعلم بالصواب